Ketika Ekonomi Membaik

Ketika Ekonomi Membaik

KEJUTAN demi kejutan sedang dirasakan perekonomian Indonesia. Kala politik,korupsi, dan infrastrukturnya karut-marut dan menuai keresahan publik,perekonomian Indonesia justru dipuji dunia.

Indonesia menjadi tempat terbaik untuk memulai usaha (survei BBC 2011), consumer confidence index kita menempati nomor tiga tertinggi di dunia (survei global Nielsen), posisi daya saing kita membaik dari nomor 54 ke nomor 44 (World Economic Forum), dan masih banyak lagi.

Hari-hari ini ratusan CEO Indonesia menerima permintaan audiensi dari pemimpin-pemimpin perusahaan kelas dunia yang selama ini hanya transit di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng atau Ngurah Rai,Denpasar. Tentu saja, perekonomian yang menarik bagi pelaku usaha global belum tentu menarik bagi para politisi dan rakyat.

Sepanjang kesenjangan kaya miskin tetap lebar,pertumbuhan ekonomi tetap rawan. Apalagi yang berjuang di negeri ini masih didominasi sektor informal yang menempati lapak-lapak yang mudah digusur Satpol PP dan mengalami kesulitan mengurus formalitas usaha. Dalam Cracking Zone, terdapat lima pilar yang membuat pemerintah-rakyat dan pengusaha Indonesia perlu bertindak lebih berhati-hati.

Kelima pilar itu adalah entrepreneurship power (dengan 50,7 juta usahawan sektor informal), spending power yang meningkat cepat (pendapatan per kapita sudah melewati angka USD3.000), social net power (penetrasi pengguna jejaring sosial yang tinggi, jumlah ponsel yang dimiliki penduduk melewati 200 juta), competition power (penyempurnaan business process, perang harga, dan efek fermium), serta new generation power (masuknya generation atau connected generation dengan potensi memperbarui industri atau menjadi crackers).

Lantas,kehati-hatian apa yang harus kita hadapi saat ekonomi membaik, namun jalan yang dilewati mengalami cracking?

Kualitas Internal
Dengan membaiknya perekonomian, kompetisi di antara para pelaku usaha akan semakin tinggi dan intensif.Memang benar, pasar yang selama ini dianggap menjadi biang keladi kesulitan ekonomi sudah tidak menjadi masalah lagi. The market is there, but the problem is here,inside our business.
Silakan Anda buka usaha apa saja, hampir semua yang Anda tawarkan ada pembelinya. Namun, masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah apakah bisa Anda berkompetisi dengan wirausaha-wirausaha yang lebih siap dari Anda? Kesiapan seperti apa yang saya maksud? Semua kesiapan, tentu, akan menentukan kualitas internal perusahaan Anda.

Pertama, Anda hanya akan bisa bersaing bukan karena Anda bisa mendapatkan premium segment dengan harga tinggi. Melainkan seberapa fleksibel dan efisien struktur biaya Anda. Perbaikan internal pada sejumlah perusahaan akan mendorong terjadinya price war, dan pemenangnya adalah mereka yang membenahi business process, bukan yang menguasai market share.
Kedua, persaingan juga terjadi dalam mendapatkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Perusahaan-perusahaan besar akan fokus pada pengetahuan, sedangkan pendatang- pendatang baru akan fokus pada attitude. Talent war akan membuat perusahaan- perusahaan kesulitan mendapatkan SDM sesuai dengan yang mereka butuhkan.

Tetapi, beruntunglah perusahaan bahwa pasar SDM berkualitas terbagi dalam dua segmen, yaitu segment high brain memory (tampak dalam nilai yang dicapai seseorang pada sertifikat akademik dan indeks prestasi) dan high quality of myelin (muscle memory). Yang diburu perusahaan-perusahaan besar adalah segmen pertama, dan mereka siap melatih SDM yang baru berbentuk potensi menjadi tenaga profesional yang andal.

Segmen kedua biasanya diabaikan perusahaan-perusahaan besar, terutama bila mereka tidak berasal dari kampus- kampus terkemuka, atau tidak memiliki kualitas akademik yang tinggi. Dengan demikian, mereka tidak tertampung di perusahaan-perusahaan besar dan rela dibayar “about market average” dan menjadi sasaran UMKM.

Untuk mendapatkan SDM yang kualitas myelin-nya baik, diperlukan cara penggajian yang berbeda. Singkatnya, talent war tidak dapat dihindari, dan kita semua akan kerepotan mendapatkan tenaga-tenaga berkualitas tinggi di saat ekonomi membaik seperti ini. Itulah sebabnya saya berani mengatakan para cracker merombak kulturnya dari budaya kucing (yang bersifat comfort, rumahan, diberi makan, guyub) menjadi budaya cheetah (yang harus mencari makan sendiri, agresif, bergerak ke luar,tidak guyub, aktif).

Persiapan ketiga adalah perbaikan kualitas internal pada budaya organisasi (korporat). Perubahan budaya berarti mengubah DNA, dari DNA yang tertidur, pasif, dan comfort, menjadi DNA yang penuh gairah,aktif,berorientasi pada kreativitas dan produktivitas. Dan terakhir, tentu saja mempersiapkan SDM dengan melatih kembali (retraining) SDM-SDM yang sudah terlatih.

Seringkali masalah yang dihadapi bukanlah hard competence, dalam bentuk pengetahuan, melainkan pada attitude dan cara berpikir dalam menghadapi dunia baru. Karena itu, celakalah training manager yang beranggapan ini dan itu sudah diberikan, sebab masalahnya bukan itu, melainkan bagaimana semua itu ditambatkan dalam diri manusia.

 Membaik = Makin Sulit
Suatu hal yang perlu diingat para eksekutif dan pemimpin bisnis bahwa membaiknya perekonomian bukanlah identik dengan makin mudah. Proyek akan makin banyak,tetapi yang memperebutkannya juga lebih banyak lagi.Pesanan akan jauh lebih besar, tetapi keagenan akan dibagi-bagi ke berbagai tangan.

Nilai pesanan akan semakin besar, tetapi tuntutan terhadap kecepatan respons, governance semakin tinggi. Demikian pula saat untung meningkat,tuntutan untuk berbagi menjadi lebih besar. Perusahaan semakin besar,namun penggajian tidak dapat dilakukan sekadar menggaji. Demikian pula dengan harga komoditas membaik, biaya-biaya yang dikeluarkan akan lebih besar.

Anda akan mengalami hal-hal yang baru yang membutuhkan cara-cara pandang baru, dan kerja sama yang solid. Selamat menikmati berusaha dalam dunia baru. Berubahlah sekali lagi,dan tetaplah adaptif dalam menghadapi dunia baru yang terus berubah.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

(Koran SI/Koran SI/wdi)